Selasa, 29 November 2011

PENINGKATAN KESHALEHAN SOSIAL DALAM MEWUJUDKAN STABILITAS KETAHANAN PANGAN
Mardianto Dawim1, Slamet Riyanto2, Aulia Rahmawati2
1Jurusan Pendidikan Biologi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
2Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Muhammadiyah Malang
ABSTRAK
Pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi merupakan faktor penting dalam usaha pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya guna meningkatkan daya saing bangsa. Namun, usaha ini terhambat sejalan dengan meluasnya krisis pangan yang berakibat pada munculnya kasus kurang gizi dan gizi buruk di berbagai daerah.
Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah dalam menjaga stabilitas ketahanan pangan. Namun, upaya yang dilakukan pemerintah masih kurang optimal unuk menjaga stabilitas ketahanan pangan. Faktanya masih terdapat kasus kurang gizi di berbagai daerah.
Menurut UU No.7/1996, Ketahanan Pangan adalah :”Kondisi di mana terjadinya kecukupan penyediaan pangan bagi rumah tangga yang diukur dari ketercukupan pangan dalam hal jumlah dan kualitas dan juga adanya jaminan atas keamanan (safety), distribusi yang merata dan kemampuan membeli” (Lassa, 2005).
Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan suatu tindakan sadar pada lingkungan sekitarnya sebagai wujud dari keshalehan sosial.
Penulisan karya ilmiah ini menggunakan teknik analisa data, analisa deskriptif kualitatif. Analisa deskriptif kualitatif adalah analisa yang digambarkan dengan kata-kata atau kalimat, dipisah-pisahkan menurut kategori untuk memperoleh kesimpulan.
Swasembada pangan tidak sama dengan ketahanan pangan. Konsep ketahanan pangan mengacu pada pengertian adanya ketersediaan, akses dan konsumsi pangan. Terjadinya ketidaktahanan pangan disebabkan oleh kurangnya kesadaran bertetangga dalam kehidupan bermasyarakat. Sehingga aplikasi dari keshalehan sosial sangat diperlukan dalam mewujudkan stabilitas ketahanan pangan.
Beberapa upaya yang dilakukan dalam meningkatkan keshalehan sosial antara lain: pelaksanaan pola hidup sederhana, meningkatkan fungsi lembaga nonformal di masyarakat serta mengoptimalkan kinerja pemerintah dalam meningkatkan keshalehan sosial.
Kata kunci : kurang gizi dan gizi buruk, ketahanan pangan, keshalehan sosial
PENDAHULUAN
Pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi merupakan faktor penting dalam usaha pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya guna meningkatkan daya saing bangsa. Namun, usaha ini terhambat sejalan dengan meluasnya krisis pangan yang berakibat pada munculnya kasus kurang gizi dan gizi buruk di berbagai daerah.
Masalah kurang gizi dan gizi buruk yang terjadi pada saat waktu dan daerah tertentu akan menimbulkan masalah pembangunan bangsa di masa yang akan datang, karena terjadinya generation loss (Budiyanto, 2002).
Masalah krisis pangan yang berakibat pada munculya kasus kurang gizi dan gizi buruk ini dipicu oleh keterbatasan kemampuan daya beli masyarakat terhadap bahan pangan seiring dengan melonjaknya harga  berbagai macam kebutuhan pokok (Una, 2008).
Untuk mengatasi masalah kurang gizi dan gizi buruk, perlu dilakukan penjagaan terhadap stabilitas ketahanan pangan. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 tentang pangan dinyatakan bahwa Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutu, aman, merata, dan terjangkau.
Hal yang dilakukan pemerintah dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan diantaranya dengan melakukan SKPG (Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi), mengaktifkan kembali peran Posyandu (Pos Pelayanan Terpadu) dalam mengontrol berat badan balita, karena orang yang aktif  adalah ibu balita, bukan petugas Posyandu setempat. Selain itu pemerintah juga melakukan operasi pasar, program Raskin serta impor dari luar negeri.
Namun, upaya yang dilakukan pemerintah masih kurang optimal. Hal ini dapat diketahui dengan adanya kasus-kasus kurang gizi dan gizi buruk di sebagian daerah. Dapat diketahui pula bahwa di sekitar penderita kasus kurang gizi dan gizi buruk terdapat masyarakat yang kecukupan gizi (Budiyanto, 2002).
Untuk mengatasi masalah kurang gizi dan gizi buruk juga diperlukan peran serta masyarakat sekitar yang merupakan wujud dari keshalehan sosial dalam kehidupan bermasyarakat untuk menjaga kestabilan ketahanan pangan. Hal ini sebagaimana dalam sabda Rasulullah SAW, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia memuliakan tetangganya.” (HR Muslim).
Konsep Ketahanan Pangan
Konsep ketahanan pangan mengacu pada pengertian adanya kemampuan mengakses pangan secara cukup untuk mempertahankan kehidupan yang aktif dan sehat. Ketahanan pangan merupakan konsep yang multidimensi meliputi mata rantai sistem pangan dan gizi, mulai dari produksi, distribusi, konsumsi, dan status gizi. Secara ringkas ketahanan pangan sebenarnya hanya menyangkut tiga hal penting, yaitu ketersediaan, akses, dan konsumsi pangan (Khomsan, 2008).
Definisi Formal ketahanan pangan :
1.     World Food Conference 1974, UN 1975: Ketahanan Pangan adalah “ketersediaan pangan dunia yang cukup dalam segala waktu … untuk menjaga keberlanjutan konsumsi pangan … dan menyeimbangkan fluktuasi produksi dan harga”.
2.     FAO 1992: Ketahanan Pangan adalah “situasi di mana semua orang dalam segala waktu memiliki kecukupan jumlah atas pangan yang aman (safe) dan bergizi demi kehidupan yang sehat dan aktif.
3.     World Bank 1996: Ketahanan Pangan adalah: “akses oleh semua orang pada segala waktu atas pangan yang cukup untuk kehidupan yang sehat dan aktif.
4.     Indonesia – UU No.7/1996: Ketahanan Pangan adalah :”Kondisi di mana terjadinya kecukupan penyediaan pangan bagi rumah tangga yang diukur dari ketercukupan pangan dalam hal jumlah dan kualitas dan juga adanya jaminan atas keamanan (safety), distribusi yang merata dan kemampuan membeli” (Lassa, 2005).
Tinjauan Pangan dan Gizi
Pangan merupakan bahan-bahan yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari untuk mencukupi kebutuhan energi atau juga sumber gizi bagi tubuh. Kebutuhan pangan merupakan kebutuhan manusia yang paling asasi (Budiyanto, 2002).
Gizi merupakan zat-zat yang diperoleh dari bahan makanan yang dikonsumsi, mempunyai nilai yang sangat penting (tergantung dari macam-macam bahan makanannya) untuk :
1.     memelihara proses tubuh dalam pertumbuhan dan perkembangan, terutama bagi mereka yang masih dalam masa pertumbuhan;
2.     memperoleh energi guna melakukan kegiatan fisik sehari-hari.
Gizi buruk atau kurang gizi merupakan keadaan tidak sehat yang timbul karena tidak cukup makan dengan demikian konsumsi energi dan protein kurang selama jangka waktu tertentu (Budiyanto, 2002).
Keadaan Masyarakat Indonesia
Indonesia sebagai negara yang kaya akan sumber daya alamnya mempunyai 49,5 juta jiwa penduduk yang tergolong miskin. Jumlah penduduk miskin tersebut terdiri dari 17,6 juta jiwa di perkotaan dan 31,9 juta jiwa di pedesaan. Angka tersebut lebih dari dua kali lipat banyaknya dibanding angka tahun 1996 (sebelum krisis ekonomi) yang hanya mencatat jumlah penduduk miskin sebanyak 7,2 juta jiwa di perkotaan dan 15,3 juta jiwa pedesaan. Akibat krisis jumlah penduduk miskin diperkirakan makin bertambah.
Kondisi pangan lokal maupun nasional sedang terkena dampak perubahan iklim dan pemanasan global (global warming). Setelah terjadinya perubahan iklim dan global warming, kemandirian pangan pun menjadi isu global. Bahkan, petani di berbagai belahan dunia kini sedang menuntut adanya kemandirian pangan. Berbeda dengan konsep ketahanan pangan (food security), kini konsep kemandirian pangan (food sovereignty) lebih relevan untuk dikedepankan. Soalnya, paradigma kemandirian pangan bisa mengatasi berbagai kelemahan kebijakan ketahanan pangan yang selama ini lebih bersandar pada pemenuhan pangan secara modern melalui penerapan agrobisnis, perdagangan bebas dan privatisasi sumber-sumber produktif (Martaja, 2008).
Beberapa contoh kasus yang terjadi di Indonesia antara lain :
1.     Menurut Kepala Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan Departemen Pertanian Tjuk Eko Haribasuki, Sebanyak 2,5 dari total penduduk Indonesia dalam kondisi rawan pangan. Artinya, ada sekitar 5 juta rakyat negara agraris ini yang makan kurang dari dua kali sehari (Anonymous, 2008).
2.     Daeng Basse (35 tahun), warga Makassar, meninggal dunia bersama bayi yang dikandungnya dan satu orang anaknya yang lain, Bahir (7 tahun) Jumat (29/2/2008) setelah tiga hari kelaparan (Sudarmawan, 2008).
3.     Sebanyak 17.835 balita di Kabupaten Ciamis diketahui masih kekurangan gizi. Rinciannya, ditemukan sebanyak 435 balita berstatus gizi buruk dan 17.400 balita lainnya gizi kurang. Sementara itu, balita berstatus gizi lebih mencapai 7.000 orang (Anonymous, 2008).
Konsep Keshalehan Sosial
Bertetangga adalah bagian kehidupan manusia yang hampir tidak bisa ditolak. Sebab manusia memang tidak semata-mata makhluk individu, tapi juga merupakan makhluk sosial. Faktanya, seseorang memang tidak bisa hidup sendirian. Mereka satu sama lain harus selalu bermitra dalam mencapai kebaikan bersama.
Menurut Imam Syafi’i, yang dimaksud dengan tetangga adalah 40 rumah di samping kiri, kanan, depan, dan belakang. Mau tidak mau, setiap hari kita berjumpa dengan mereka. Baik hanya sekadar melempar senyum, lambaian tangan, salam, atau malah ngobrol diantara pagar rumah. Islam sangat memperhatikan masalah adab-adab bertetangga.
Masyarakat yang memiliki keshalehan sosial akan membutuhkan kebutuhan fisiologis/ dasar, kebutuhkan akan rasa aman dan tentram, kebutuhan untuk dicintai dan disayangi, kebutuhan untuk dihargai dan yang terakhir kebutuhan untuk aktualisasi diri. Keempat kebutuhan yang disebutkan di awal, lebih mengarah kepada kebutuhan duniawi. Tetapi kebutuhan terakhir yaitu kebutuhan untuk aktualisasi diri lebih mengarah kepada kebutuhan ruhani (Perdana, 2007).
Keshalehan sosial dapat diukur dengan parameter orang yang bersangkutan berbuat amal shaleh dan proyek kebaikan lainnya. Karena iman dan amal menjadi mata rantai yang harus sinergis, oleh karena itu keduanya tampil menjadi unsur indikator dalam suatu perubahan sosial (Nasir, 2008).
METODE PENELITIAN
Data dan fakta yang berhubungan untuk pembahasan tema ini berasal dan tahapan-tahapan pengumpulan data dengan pembacaan secara kritis terhadap ragam literatur (Library research) yang berhubungan dengan tema pembahasan. Data yang ditampilkan dalam karya tulis ini dapat berupa angka atau pesan. Untuk angka, data yang dipakai adalah data dengan kriteria telah dipublikasikan kepada masyarakat,  melalui literatur yang digunakan berupa buku, surat kabar, buletin, maupun internet. Dengan demikian penulis mengelompakkan atau menyeleksi data dan informasi tersebut  berdasarkan kategori atau relevansi dan kemudian selanjutnya ke tahapan analisis dan pengambilan kesimpulan.
Teknik analisa data yang digunakan adalah analisa deskriptif kualitatif. Analisa deskriptif kualitatif adalah analisa yang digambarkan dengan kata-kata atau kalimat, dipisah-pisahkan menurut kategori untuk memperoleh kesimpulan.
HASIL
Dalam penelitian ini, yang membahas tentang peningkatan keshalehan sosial dalam mewujudkan stabilitas ketahanan pangan diketahui bahwa:
1.     Swasembada pangan tidak sama dengan ketahanan pangan.
2.     Kurangnya peran aktif masyarakat dalam kehidupan bertetangga.
3.     Ketahanan pangan adalah tanggung jawab bersama
4.     Ada beberapa strategi yang dapat dilakukan dalam meningkatkan keshalehan sosial demi mewujudkan stabilitas ketahanan pangan.
PEMBAHASAN
Swasembada Pangan Tidak Sama Dengan Ketahanan Pangan
Indonesia dikenal sebagai negara agraris. Pada masa pemerintahan Orde Baru sempat mengganti orientasi kebijakan pangan dari swasembada beras ke swasembada pangan secara umum pada Repelita III dan Repelita IV. Hasilnya sempat dirasakan pada tahun 1984 di mana Indonesia mencapai level swasembada pangan.
Selama empat tahun kepemimpinan Megawati (2000-2004), kebijakan-kebijakan swasembada pangan terus dilakukan. Statement Megawati yang terkenal adalah “Tidak ada pilihan lain kecuali Swasembada”. Fakta menunjukan bahwa produksi pangan Indonesia tahun 2004 mampu memberikan hasil yang menggembirakan (lihat Food Outlook FAO April 2004), tapi disayangkan bahwa Indonesia tidak mampu mencapai ketahanan pangan yang memadai. Peristiwa kelaparan dan malnutrisi di berbagai tempat di Indonesia adalah bukti bahwa Indonesia tidak mampu mencapai ketahanan pangan yang memadai tersebut.
Sebagai perbandingan kita ambil contoh negara tetangga kita Malaysia. Malaysia mendefinisikan ulang ketahahanan pangannya sebagai swasembada 60% pangan nasional. Sisanya, 40% didapatkan dari import pangan. Malaysia kini memiliki tingkat ketahanan pangan yang kokoh. Ini memberikan ilustrasi yang jelas bahwa ketahanan pangan dan swasembada adalah dua hal yang berbeda.
Kurangnya Peran Aktif Masyarakat dalam Kehidupan Bertetangga
Munculnya kasus-kasus kurang gizi dan gizi buruk yang terjadi di sebagian daerah dapat disebabkan oleh kurangnya perhatian masyarakat sekitar terhadap kehidupan tetangganya. Banyak kasus-kasus kurang gizi dan gizi buruk terjadi di sekitar warga yang memiliki kecukupan gizi.
Sebagai contoh yang sangat menghawatirkan adalah kasus gizi buruk pada balita. Sebanyak 17.835 balita di Kabupaten Ciamis diketahui masih kekurangan gizi. Rinciannya, ditemukan sebanyak 435 balita berstatus gizi buruk dan 17.400 balita lainnya gizi kurang.
Jika balita gizi buruk ini dibiarkan, akan berdampak pada kualitas sumber daya manusia di masa mendatang. Bahkan, hal itu akan menjadi ancaman hilangnya sebuah generasi. Mereka ini juga sangat rentan terhadap penyakit. Oleh karena itu, penanganan masalah balita kekurangan gizi haruslah mendapat perhatian serius.
Ketahanan Pangan adalah Tanggung Jawab Bersama
Mengingat persoalan ketahanan pangan di Indonesia memiliki implikasi yang sangat luas maka perlu segera mendapatkan perhatian yang lebih serius. Terciptanya sistem ketahanan yang ideal memerlukan keterlibatan berbagai institusi untuk menjamin keamanan pangan, mulai dari hulu hingga ke hilir (from farm to fork), mulai dari proses pemanenan, distribusi, pengolahan, hingga di meja konsumen. Terciptanya kondisi ketahanan pangan yang ideal adalah tanggung jawab bersama.
Saat inilah peran aktif masyarakat sangat dituntut dalam rangka membantu pemerintah menciptakan ketahanan pangan. Peran aktif masyarakat merupakan wujud dari sikap keshalehan sosial dalam kehidupan bermasyarakat (bertetangga). Sebagaimana yang telah diperintahkan Allah, “Bertolong-tolonganlah kamu dalam berbuat kebaikan dan takwa dan janganlah kamu tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kepada Allah, karena sesungguhnya Allah sangat berat siksa-Nya.” (QS Al-Maidah [5]: 2)
Bertetangga adalah bagian kehidupan manusia yang hampir tidak bisa ditolak. Sebab manusia memang tidak semata-mata makhluk individu, tapi juga merupakan makhluk sosial. Faktanya, seseorang memang tidak bisa hidup sendirian. Mereka satu sama lain harus selalu bermitra dalam mencapai kebaikan bersama.
Kesadaran dan perhatian kepada sesama anggota masyarakat dalam hal ini sangat dituntut. Masyarakat dapat menjadi agen awal dalam mencegah munculnya kasus-kasus yang berkaitan dengan pangan. Untuk itu diperlukan adanya sikap harmonis dalam bertetangga sehingga muncul kesadaran dan perhatian sesama anggota masyarakat.
Menurut Imam Syafi’i, yang dimaksud dengan tetangga adalah 40 rumah di samping kiri, kanan, depan, dan belakang. Mau tidak mau, setiap hari kita berjumpa dengan mereka. Baik hanya sekadar melempar senyum, lambaian tangan, salam, atau malah ngobrol di antara pagar rumah. Islam sangat memperhatikan masalah adab-adab bertetangga.
Dalam sebuah riwayat, Rasulullah mengingatkan Fatimah dengan keras agar segera memberikan tetangga mereka apa yang menjadi hak-hak mereka. Kisahnya berawal ketika Rasulullah SAW pulang dari bepergian. Beberapa meter menjelang rumahnya, Rasulullah SAW mencium aroma gulai kambing yang terbit dari rumah beliau. Rasul segera bergegas menuju ke rumahnya dan menemui Fatimah yang ternyata memang sedang memasak gulai kambing. Spontan Rasulullah SAW memerintahkan putri tercinta beliau untuk memperbanyak kuah gulai yang sedang dimasaknya.
Dari kisah di atas bisa kita ambil kesimpulan bahwa ini merupakan salah satu bentuk kepedulian sosial yang diperintahkan Islam kepada kita. Islam memerintahkan kepada kita untuk senantiasa mempertajam sense of social kita. Dari sini bisa dipahami, betapa Islam mengajarkan kita untuk senantiasa membiasakan diri merasakan kesenangan dan kesulitan bersama dengan masyarakat kita.
Artinya Islam sangat melarang kita hidup egois, serakah, dan individualistik. Penghormatan kepada tetangga sesungguhnya merupakan bagian dari aktualisasi keimanan kita kepada Allah Azza wa Jalla dan Hari Akhir, sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia memuliakan tetangganya.” (HR Muslim).
Dengan begitu seseorang tidak dikatakan beriman kepada Allah dan Hari Akhir, jika dia menyia-nyiakan tetangganya. Jika dia tidak menyantuni kebutuhan tetangganya. Termasuk menyia-nyiakan tetangga tentunya adalah, bila dia tidak pernah mengunjungi tetangga dan menanyakan keadaan mereka. Dengan demikian bergaul dengan tetangga, mengetahui tentang keadaan ekonomi mereka, serta mendakwahi mereka termasuk hak-hak tetangga yang harus kita tunaikan.
Dalam sebuah Hadis, Rasulullah SAW bersabda, “Hak tetangga ialah, bila dia sakit, kamu kunjungi. Bila wafat, kamu mengantarkan jenazahnya. Bila dia membutuhkan uang, maka kamu pinjami. Dan bila mengalami kesukaran/kemiskinan, maka jangan dibeberkan, aib-aibnya kamu tutup-tutupi dan rahasiakan. Bila dia memperoleh kebaikan, maka kita turut bersuka cita dan mengucapkan selamat kepadanya. Dan bila menghadapi musibah, kamu datang untuk menyampaikan rasa duka. Jangan sengaja meninggikan bangunan rumahmu melebihi bangunan rumahnya, lalu menutup jalan udaranya (kelancaran angin baginya). Dan janganlah kamu mengganggunya dengan bau masakan, kecuali kamu menciduknya dan memberikan kepadanya.”
Keharmonisan hubungan bertetangga bukan hanya bisa menciptakan lingkungan yang bersih, sehat, dan aman, tapi juga menciptakan benteng yang kokoh bagi anak-anak kita dari segala bentuk kejahatan yang datang dari luar maupun dari dalam. Tetangga bisa menebarkan rahmat dan kasih-sayang. Tetapi sebaliknya, tetangga bisa juga menebarkan kemalangan dan malapetaka bagi lingkungannya. Dengan diikutsertakannya masyarakat diharapkan ketahanan pangan dapat terwujud serta kasus-kasus kekurangan gizi di daerah dapat ditekan.
Strategi Meningkatkan Keshalehan Sosial dalam Upaya Mewujudkan    Stabilitas Ketahanan Pangan
Beberapa wujud keshalehan sosial dalam upaya menciptakan stabilitas ketahanan pangan diantaranya:
1.     Pelaksanaan pola hidup sederhana
Pola hidup sederhana akan menurunkan kesenjangan sosial dalam masyarakat, karena dengan adanya sikap tersebut akan muncul rasa saling merasakan antar sesama. Sehingga, setiap individu akan sadar dan peka terhadap lingkungannya.
b.   Meningkatkan fungsi lembaga nonformal di masyarakat
Lembaga nonformal yang ada di masyarakat seperti majlis ta`lim, PKK, karang taruna, dan remaja masjid memiliki peran sangat penting dalam meningkatkan keshalehan sosial.
Dalam lembaga nonformal tersebut terdapat satu keinginan bersama untuk mencapai tujuan bersama dalam hidup bermasyarakat. Hal ini dapat tercermin dengan tidak adanya kesenjangan sosial serta meningkatnya peran serta masyarakat dalam menanggapi dan menyelesaikan masalah yang terjadi dalam masyarakat.
c.   Mengoptimalkan peran serta pemerintah dalam meningkatkan keshalehan sosial di masyarakat
Pemerintah diharapkan memberikan pembinaan, penyuluhan serta pengawasan melalui seluruh instansi dari tingkat pusat hingga tingkat Rukun Tetangga dalam peningkatan kesadaran bertetangga, bermasyarakat dan bertetangga, misalnya Dinas Kesehatan melalui Puskesmas dan Posyandu.
KESIMPULAN
Dari hasil pengumpulan, pengamatan dan analisa data diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1.     Swasembada pangan tidak sama dengan ketahanan pangan. Konsep ketahanan pangan mengacu pada pengertian adanya kemampuan mengakses pangan secara cukup untuk mempertahankan kehidupan yang aktif dan sehat. Sedangkan, swasembada pangan adalah kemampuan dari suatu negara dalam menjaga ketersediaan pangan untuk mencukupi kebutuhan pangan dalam negeri.
2.     Terjadinya ketidaktahanan pangan disebabkan oleh kurangnya kesadaran bertetangga dalam kehidupan bermasyarakat. Sehingga wujud dari keshalehan sosial diperlukan untuk mewujudkan stabilitas ketahanan pangan.
3.     Untuk mewujudkan stabilitas ketahanan pangan dapat dilakukan dengan meningkatkan nilai keshalehan sosial sebagai wujud kepedulian individu terhadap masyarakat sekitar. Keharmonisan hubungan bertetangga bisa menciptakan lingkungan yang bersih, sehat, aman dan menjadi lahan amal shaleh serta menciptakan proteksi awal dalam mencegah kerawanan pangan.
4.     Beberapa upaya yang dilakukan dalam meningkatkan keshalehan sosial antara lain: pelaksanaan pola hidup sederhana, meningkatkan fungsi lembaga nonformal di masyarakat serta mengoptimalkan kinerja pemerintah dalam meningkatkan keshalehan sosial.
DAFTAR PUSTAKA
Budiyanto, MAK. 2002. Dasar-Dasar Ilmu Gizi. Malang. UMM Press.
Anonymous. 2008. Ketahanan Pangan dan Kemajuan Bangsa. Retreived March 22, 2008 from http://www.prakarsa-rakyat.org/artikel/fokus/artikel_ cetak.php?aid=22721
Anonymous. 2008. Konsep Ketahanan Pangan Rumah Tangga. Retreived March 22, 2008 fromhttp://www.damandiri.or.id/file /wahidipbtinjauan.pdf.
Anonymous. 2008. Menjaga Keharmonisan Bertetangga. Retreived March 22 2008 fromhttp://www.republika.co.id/suplemen/cetak_detail.asp?mid
Khomsan, Ali. 2008. Impor Beras, Ketahanan Pangan, dan Kemiskinan Petani. Retreived March 23, 2008. fromhttp://www.unisosdem.org/ article_detail.php?aid
Lassa, Jonatan. Politik Ketahanan Pangan Indonesia 1950-2005. Retreived            March 22, 2008 from http://www.zef.de/
Martaja. 2008. Urgensi Membangun Kemandirian Pangan. Rtreived March 22,     2008 from http://www.suarakarya-online.com/news.htm
Nasir, Muhammad. 2008. Islam dan Solidaritas Sosial. Retreived March 24, 2008 fromhttp://sayyidulayyaam.blogspot.com/2006/11/islam-dan solidaritas sosial.html
Perdana, Arif. 2007. Keshalehan Individual dan Keshalehan Sosial. Retreived March 24, 2008 fromhttp://arifperdana.wordpress.com/2007/11/24/keshalehan-individual-dan keshalehan-sosial/
Sudarmawan. 2008. 243 Warga Magetan Terserang Gizi Buruk. Retreived March 22, 2008 fromhttp://www.kompas.com/read.php?
Una. 2008. Inflasi Tinggi Masih Mengancam. Retreived March 22, 2008 from           http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id
KORELASI ANTARA PENGETAHUAN DAN SIKAP MASYARAKAT TERHADAP PEMILAHAN SAMPAH KERING DAN BASAH DI DESA PENDEM KECAMATAN JUNREJO KOTA BATU
Slamet Riyanto1, Mardianto Dawim2, Aulia Rahmawati1
1Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
2Jurusan Pendidikan Biologi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Muhammadiyah Malang
ABSTRAK
Sampah merupakan bahan yang terbuang atau dibuang dari hasil aktifitas manusia maupun proses alam yang masih belum memiliki nilai ekonomi. Berdasarkan sumbernya, sampah dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu sampah domestik dan sampah non domestik. Sampah domestik memberikan kontribusi yang besar terhadap jumlah sampah yang masuk ke TPA. Penghasil sampah domestik terbesar adalah rumah tangga, yang terdiri dari sampah kering dan sampah basah. Dampak pencampuran antara sampah kering dan basah sanngat berbahaya. Sementara itu, DKP masih memberlakukan metode Open Dumping, oleh karena itu teknik pengelolaan sampah yang efektif, ramah lingkungan dan kesehatan perlu digali mengingat peningkatan jumlah sampah berbanding lurus dengan peningkatan jumlah penduduk. Salah satu alternative pengelolaan sampah yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan pemilahan sampah, tetapi pemilahan sampah merupakan perilaku yang baru dalam masyarakat oleh karena itu studi pengetahuan dan sikap masyarakat perlu dilakukan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengambarkan pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap pengelolaan sampah, setra mencari hubungan antara pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap pengelolaan sampah.
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif kualitatif dan kuantitatif, populasinya adalah ibu rumah tangga yang bermukim di Desa Pendem Kecamatan Junrejo Kota Batu. Sistem pengambilan sampelnya menggunakan teknik random sampling (96 responden). Penelitian ini bertujuan mengambarkan pengetahuan dan sikap masyarakat Desa Pendem terhadap pengelolaan sampah, dalam hal ini pemilahan sampah kering dan basah. Selain itu juga akan dicari seberapa besaran hubungan antara pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap pemilahan sampah.
Dari hasil penelitian, diketahui bahwa pada umumnya pengetahuan masyarakat sebagian besar baik (28,13%), tetapi nilai sikap pengelolaan sampah sebagian besar masyarakat memiliki sikap tidak baik (33,33%). Korelasi antara pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap pemilahan sampah memiliki hubungan linier positif, dan hubungan yang terjadi kurang erat atau rendah tetapi masih dianggap signifikan (r = 0,353; p<0,05). Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara pengetahuan dan sikap tetapi hubungannya tidak erat, dalam hal ini berlaku asumsi bahwa orang yang memiliki pengetahuan tinggi terhadap pemilahan sampah belum tentu melakukan pemilahan sampah, begitupula sebaliknya.
Kata kunci : pengetahuan, sikap, pengelolaan sampah.
PENDAHULUAN
Sampah adalah bahan yang terbuang atau dibuang dari hasil aktifitas manusia maupun proses alam yang belum memiliki nilai ekonomi (E. Colink, 1996). Jumlah sampah yang terus meningkat di TPA selama ini kiranya dapat kita tinjau dari sistem pengelolaan sampah. Adapun macam pengelolaan sampah ada banyak sekali, diantaranya dengan dibakar, digunakan untuk kompos, makanan ternak, bahan bakar, dihanyutkan kesungai, ataupun dipendam. Bila dicermati, sebenarnya pengelolaan sampah saat ini belum menyelesaikan masalah secara  optimal. Pengelolaan sampah yang dilakukan oleh masyarakat hanya bertujuan untuk mengurangi jumlah timbunan sampah tanpa memperhatikan aspek lingkungan dan kesehatan.
Sedangkan pengelolaan sampah yang dilakukan oleh Dinas Kebersihan selama ini hanya dalam konteks pemindahan sampah dari sumber sampah ke tempat lain yang kemudian akan menimbulkan dampak bagi lingkungan dan kesehatan di sekitar TPA berada yang didukung pula dengan perilaku masyarakat yang masih mencampur antara sampah kering dan sampah basah.
Di Desa Pendem Kecamatan Junrejo Kota Batu, jenis sampah yang dihasilkan sebagian besar adalah sampah rumah tangga yang terdiri dari sisa sayuran, makanan, plastik, botol dan sisa-sisa kemasan. Pengelolaan sampah oleh masyarakat setempat yaitu: dengan dibakar, pemendaman,  dibuang ke sungai dan dibuang ke tempat pembuangan yang dikelola oleh Dinas Kebersihan Kota Batu.
Masyarakat Desa Pendem saat ini masih belum melaksanakan pemisahan antara sampah kering dan sampah basah, hal ini dimungkinkan masyarakat masih belum memiliki pengetahuan tentang pengelolaan sampah yang efektif, ramah lingkungan dan memberikan nilai tambah pada sampah itu sendiri. Dalam kaitannya dengan pengelolaan sampah rumah tangga, pengetahuan tentang pengelolaan sampah akan berpengaruh terhadap pembentukan sikap pengelolaan sampah pula.
Pengertian Pengetahuan
Menurut bahasa pengetahuan adalah hasil tahu diri manusia yang bukan sekedar menjawab pertanyaan what melainkan akan menjawab why dan how (Notoadmodjo, 1993). Menurut istilah, Bloom dalam Subiyanto (1988) menyatakan bahwa pengetahuan adalah hasil belajar kognitif yang mencakup hal-hal yang pernah dipelajari dan disimpan dalam ingatan. Sedangkan tingkat pengetahuan seseorang dapat diperoleh dari hasil belajar terhadap suatu hal baik dari buku, alam sekitar, orang lain atau pengalaman pribadi.
Pengertian Sikap
Menurut para ahli, banyak batasan tentang sikap berdasarkan sudut pandang yang berbeda begitupula dengan definisinya. Louis Thustone pada tahun 1931 ia berkata secara sederhana mengenai sikap yaitu perasaan menyukai atau menolak suatu obyek psikologi.
Pengertian Sampah
Menurut kamus istilah lingkungan hidup, sampah mempunyai definisi sebagai bahan yang tidak mempunyai nilai, bahan yang tidak berharga untuk maksud biasa, pemakaian bahan rusak, barang yang cacat dalam pembikinan manufaktur, materi berkelebihan, atau bahan yang ditolak.
Jenis Sampah
Sampah jika ditinjau dari segi jenisnya diantaranya yaitu:
1.     Sampah yang dapat membusuk atau sampah basah (garbage). Garbage adalah sampah yang mudah membusuk karena aktifitas mikroorganisme pembusuk.
2.     Sampah yang tidak membusuk atau sampah kering (refuse). Sampah jenis ini tidak dapat didegradasikan oleh mikroorganisme, dan penanganannya membutuhkan teknik yang khusus. Contoh sampah jenis ini adalah ketas, plastik, dan kaca,
3.     Sampah yang berupa debu atau abu. Sampah jenis ini biasanya hasil dari proses pembakaran. Ukuran sampah ini relatif kecil yaitu kurang dari 10 mikron dan dapat memasuki saluran pernafasan.
4.     Sampah yang berbahaya terhadap kesehatan Sampah jenis ini sering disebut sampah B3, dikatakan berbahaya karena berdasarkan jumlahnya atau konsentrasinya atau karena sifat kimiawi atau fisika atau mikrobanya dapat:
1.     Meningkatkan mortalitas dan mobilitas secara bermakna atau menyebabkan penyakit yang tidak reversibel ataupun sakit berat tidak dapat pulih ataupun reversibel atau yang dapat pulih.
2.     Berpotensi menimbulkan bahaya pada saat ini maupun dimasa yang akan datang terhadap kesehatan atau lingkungan apabila tidak diolah, ditransport, disimpan dan dibuang dengan baik. Sampah yang masuk dalam tipe ini tergolong sampah yang beresiko menimbulkan keracunan baik manusia maupun fauna dan flora di lingkungan tersebut, Slamet (1994).
Sedangkan Hadiwiyono, (1983) mengelompokkan sampah berdasarkan dua karakteristik, yaitu:
1)      Kimia
1.     Organik
Sampah yang mengandung senyawa organik atau sampah yang tersusun dari umsur karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen, dan pospor.
1.     Anorganik
Sampah yang tidak dapat diuraikan oleh mikroorganisme, jika bisapun membutuhkan waktu yang sangat lama.
2)      Fisika
1.     Sampah basah (garbage)
Garbage tersusun dari sisa-sisa bahan-bahan organik yang mudah lapuk dan membusuk.
1.     Sampah kering (rubbish)
Sampah kering dapat digolongkan menjadi dua kelompok yaitu jenis logam seperti besi, seng,aluminium dan jenis non logam seperti kertas dan kayu.
1.     Sampah lembut
Sampah lembut memiliki ciri khusus yaitu berupa partikel-partikel kecil yang ringan dan mudah terbawa oleh angin.
1.     Sampah besar (bulkywaste)
Sampah jenis ini memiliki ukuran yang relatif lebih besar, contohnya sampah bekas mesin kendaraan.
1.     Sampah berbahaya (hazardous waste)
Sampah jenis ini terdiri dari :
-          Sampah patogen (biasanya sampah jenis ini berasal dari kegiatan medis)
-          Sampah beracun (contoh sampah sisa pestisida, isektisida, obat-obatan, sterofom)
-          Sampah ledakan, misiu, sisa bom dan lain-lain
-          Sampah radioaktif dan bahan-bahan nuklir.
Sumber Sampah
Berdasarkan sumbernya, Wibowo. Arianto dan Djajawinata. T. Darwin, (2007) membagi sampah menjadi dua kelompok yaitu:
1.     Sampah domestik
Adalah sampah yang dihasilkan oleh kegiatan manusia secara langsung, contohnya sampah rumah tangga, pasar, sekolah dan sebagainya.
1.     Sampah non domestik
Adalah sampah yang dihasilkan oleh kegiatan manusia secara tidak langsung, contohnya sampah pabrik, industri dan pertanian.
Sifat Sampah
Berdasarkan sifat pokoknya, sampah dibagi menjadi dua yaitu :
1.     Degradabel yaitu sampah yang mudah diuraikan oleh jasad hidup atau mikroorganisme.
2.     Non degradabel adalah sampah secara alami sukar diuraikan.
Pengelolaan Sampah
Tehnik-teknik yang dapat digunakan untuk menajemen pengelolaan sampah adalah sebagai berikut:
1.     Penumpukan
Dengan metode ini, sebenarnya sampah tidak dimusnahkan secara langsung, namun dibiarkan membusuk menjadi bahan organik.
1.     Pengkomposan
Cara pengkomposan merupakan cara sederhana dan dapat menghasilkan pupuk yang mempunyai nilai ekonomi. Sampah biologis, basah atau organik dapat dijadikan kompos dengan cara menimbun sampah tersebut di tanah untuk jangka waktu tertentu hingga membusuk.
1.     Pembakaran
Metode ini dapat dilakuakn hanya untuk sampah yang dapat dibakar habis.
1.     Sanitary Landfill
Metode ini hampir sama dengan penumpukan, tetapi cekungan yang telah penuh terisi sampah ditutupi tanah, namun cara ini memerlukan areal khusus yang sangat luas.
1.     Pangan dan Makanan Ternak
Sampah yang berupa buah-buahan dan sayur-sayuran yang belum sepenuhnya rusak dapat dijadikan makanan ternak atau binatang lain yang dikembangbiakkan.
1.     Landfill
Jenis pengelolaan sampah ini adalah membuang dan menumpuk sampah di tanah yang rendah pada area yang terbuka.
1.     Pulverisation
Pulverisation adalah metode pembuangan sampah langsung ke laut lepas setelah dihancurkan menjadi potongan-potongan kecil.
1.     Open dumping
Open dumping adalah teknik atau metode pengelolaan sampah yang dilakukan di TPA hanya dengan menumpuk sampah dihamparan tanah yang luas dan selanjutnya tidak dilakukan pengelolaan khusus.
1.     Incineration / Incinerator
Metode incineration adalah pembakaran sampah baik dengan cara sederhana maupun modern secara masal. Teknologi ini memungkinkan hasil energi pembakaran diubah menjadi energi listrik.
Profil Desa Pendem
Wilayah yang dijadikan obyek dalam penelitian ini adalah Desa Pendem Kecamatan Junrejo Kota Batu. Desa Pendem terletak di daerah pemerintahan kota Batu, tepatnya di Kecamatan Junrejo. Untuk mengetahui lebih banyak mengenai lokasi penelitian ini, berikut akan peneliti paparkan mengenai luas dan batasan wilayah Desa Pendem, komposisi penduduk Desa Pendem.
Luas dan Batasan Wilayah Desa Pendem
Sumber: Data Demografi Desa Pendem Kecamatan Junrejo
Komposisi Pendudukan Desa Pendem
Komposisi Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Sumber: Data Demografi Desa Pendem Kecamatan Junrejo
METODE PENDEKATAN
Jenis penelitian yang dipergunakan adalah studi kasus, dimana penelitian yang dilakukan secara intensif, terinci dan mendalam terhadap suatu organisasi, lembaga atau gejala tertentu. Langkah yang digunakan adalah survey lapangan dengan wawancara langsung. Data yang digunakan adalah perpaduan data primer dan sekunder, namun mayoritas adalah data primer yang kami dapat dari wawancara langsung dan data yang didapatkan kemudian dibuktikan dengan penyebaran angket. Dalam penelitian, model analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis deskriptif kualitalif.
HASIL
Dalam penelitian ini, membahas tentang pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kecenderungan memilah sampah kering dan basah.
Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Terakhir
NO
PENDIDIKAN TERAKHIR
Σ
%
1.
SD
20
20,83%
2.
SMP
30
31,25%
3.
SMA
31
32,29%
4.
PT
15
15,63%
JUMLAH
96
100%
Sumber: Data Olahan Penelitian
Perilaku Pemilahan Sampah
PERILAKU KESEHARIAN PEMILAHAN SAMPAH
Σ
%
Selalu
15
15,63%
Sering
7
7,29%
Kadang-kadang
10
10,42%
Tidak pernah
64
66,67%
Jumlah
96
100%
Sumber: Data Olahan Penelitian
PEMBAHASAN
Tingkat pengetahuan masyarakat mengenai pengelolaan sampah dibutuhkan untuk mengukur sejauh mana pemahaman masyarakat berkaitan pengelolaan sampah, terutama dalam hal melakukan pemilahan sampah. Hasil yang diperoleh ini jika dihubungkan dengan proses atau tingkatan pendidikan dan hasil belajar sangatlah berkaitan. Dimana tingkat pendidikan masyarakat sebagian besar berpendidikan setingkat SMA (32,29%), dan tingkat pengetahuan masyarakat Desa Pendem sebagian besar ada pada level sangat baik (28,13%). Hubungan antara tingkat pengetahuan dan pendidikan sesuai dengan pernyataan Dani, S (1997) yang menyatakan bahwa dasar pembentuk pengetahuan adalah pengalaman, dan jika pengalaman, dan jika pengalaman disusun secara sistematis akan menjadikan ilmu. Pengetahuan pada hakikatnya terdiri dari sejumlah faktor dan teori yang memungkinkan seseorang untuk dapat memecahkan masalah yang dihadapinya. Tingkat pendidikan dan pengetahuan tidak dapat dijadikan patokan untuk seseorang yang memiliki pengetahuan tinggi, sebab pengetahuan dapat diperoleh dari pengalaman diri sendiri atau orang lain, baik diperoleh secara tradisional atau cara modern.
Sikap adalah perasaan menyukai atau menolak obyek psikologi (Louis Thuston). Dalam hal pengelolaan sampah, pendeskripsian atau pengambaran tentang sikap diperlukan untuk mengetahui sejauh mana potensi yang akan diperoleh jika suatu obyek akan diberlakukan.
Distribusi Sikap Responden terhadap Pengelolaan Sampah Rumah Tangga
PERILAKU KESEHARIAN PEMILAHAN SAMPAH
Σ
%
Tidak baik
32
33,33%
Kurang baik
17
17,71%
Cukup baik
15
15,63%
Baik
17
17,71%
Sangat Baik
15
15,63%
Jumlah
96
100%
Sumber: Data Olahan Penelitian
Hasil tabulasi data diatas mengambarkan bahwa sebagian besar masyarakat memiliki sikap pengelolaan sampah dalam hal ini adalah pemilahan sampah masih rendah, dimana diperoleh jumlah tertinggi untuk sikap yang tidak baik sebanyak 32 responden (33,33%). Sikap terjadi atas dasar kesadaran yang melandasi aksi atau perbuatan seseorang secara sadar. Begitupula dengan sikap masyarakat terhadap pemilahan sampah sebagai suatu kesadaran yang memiliki tiga dimensi waktu. Tiga dimensi waktu itu adalah masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang. Dari tiga dimensi waktu yang mempengaruhi pola sikap masyarakat dapat disimpulkan bahwa pola sikap seseorang dibentuk dan disusun oleh sejumlah proses perjalanan yang telal lalu.
Dimensi waktu yang mempengaruhi sikap masyarakat Desa Pendem dalam sikapnya mengelola sampah, dipengaruhi oleh interaksi sosial pula. Disini berlaku asumsi bahwa antara perilaku masyarakat yang satu dengan yang lain akan saling mempengaruhi, artinya sebenarnya ada sebagian masyarakat memiliki pengetahuan tentang pengelolaan sampah dan melakukan pemilahan sampah, tetapi karena lingkungan tempat masyarakat tinggal tersebut tidak mendukung maka perilaku pemilahan sampah tidak lagi dilakukan. Beberapa faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap adalah pengalaman pribadi, media masa, institusi atau lembaga pendidikan atau lembaga agama serta faktor emosi individu tersebut.
Hasil uji statistik antara pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap pengelolaan sampah rumah tangga dengan menggunakan uji statistik produk momen menunjukkan adanya hubungan yang rendah antara pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap pengelolaan sampah rumah tangga (r = 0,353; p<0,05).
Hubungan Antara Pengetahuan dan Sikap Masyarakat terhadap Pengelolaan Sampah Rumah Tangga
Pada grafik di atas terlihat adanya hubungan linier positif antara pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap pengelolaan sampah, disini hubungan yang terjadi kurang erat atau rendah tetapi dianggap masih signifikan (r = 0,353; p<0,05). Hasil analisis pada grafik 1 sesuai dengan pendapat Azwar (2001) dan Notoatmojo (1983) dalam bukunya masing-masing menyatakan bahwa sikap seseorang terhadap obyek dalam hal ini pemilahan sampah yang berhubungan dengan pengetahuan dan sikap merupakan perasaan mendukung atau tidak mendukung terhadap obyek tersebut. Sehingga dapat diasumsikan bahwa responden dengan skor pengetahuan yang lebih tinggi belum tentu memiliki sikap yang baik terhadap pengelolaan sampah atau pemilahan sampah yang tinggi pula.
Hubungan antara pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap pengelolaan sampah rumah tangga yang dalam hal ini adalah pemilahan sampah, secara statistik tidak bermakna atau ada hubungannya tetapi kurang erat. Meskipun demikian hal tersebut tidak dapat dibenarkan seratus persen karena banyaknya keterbatasan peneliti terutama dalam penelitian sikap secara psychobehaviour,sehingga diperlukan lagi penelitian-penelitian lebih lanjut mengenai pengetahuan dan sikap yang berhubungan dengan pengelolaan sampah.
Nilai korelasi antara pengetahuan dan sikap masyarakat dalam mengelola sampah yang kurang erat atau rendah tetapi masih diangap signifikan (r = 0,353; p<0,05). Dari pernyataan tersebut dapatlah kita ketahui bahwa perilaku memilah sampah tidak berhubungan dengan tingkat pendidikan, dan pengetahuan atau pemahaman. Akan tetapi, terdapat perbedaan pendapat mengenai tingkat kesulitan memilah sampah pada responden yang memilah sampah dan tidak memilah sampah. Bagi responden yang belum memilah sampah, tingkat kesulitan adalah sebuah persepsi yang cenderung negatif. Persepsi seseorang dapat diubah dengan pengadaan penyuluhan ataupun pemberian pengetahun terhadap suatu obyek permasalahan.
KESIMPULAN
Dari hasil pengumpulan, pengamatan dan tabulasi data diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1.     Pada umumnya pengetahuan masyarakat Desa Pendem terhadap pengelolaan sampah rumah tangga bervariasi.
2.     Sikap masyarakat Desa Pendem terhadap pengelolaan sampah rumah tangga sebagian besar memiliki sikap yang tidak baik sebanyak 33,33%, selebihnya memiliki sikap kurang baik sebanyak 17,71%, cukup baik sebanyak 15,63%, baik 17,71% dan sangat baik sebanyak 15,63%.
3.     Ada hubungan linier positif antara pengetahuan dan sikap masyarakat Desa Pendem terhadap pengelolaan sampah, dan hubungan yang terjadi kurang erat atau rendah tetapi masih dianggap signifikan. Jadi dapat diartikan bahwa seseorang yang memiliki pengetahuan tinggi terhadap pengelolaan sampah rumah tangga belum tentu memiliki sikap yang baik terhadap pengelolaan sampah rumah tangga, begitupula sebaliknya.
Peningkatan sikap masyarakat terhadap pemilahan sampah kering dan basah dapat dilakukan dengan cara:
1.     Pemerintah Desa Pendem seyogyanya lebih memperhatikan potensi pemanfaatan sampah rumah tangga, dan menyediakan sarana dan prasarana bagi pemilahan sampah tingkat desa sebagai sumbangsih meminimalisasi penumpukan sampah di TPA dan TPS serta mengurangi pencemaran lingkungan akibat sampah.
2.     Penyuluhan oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Batu sangat dibutuhkan oleh masyarakat, mengingat masalah sampah adalah masalah bersama dan sumber sampah adalah masyarakat.
3.     Masyarakat lebih proaktif dalam mempelajari dan melakukan pengelolaan sampah yang ramah lingkungan, serta tidak membebankan pengelolaan sampah sepenuhnya pada DKP Kota Batu.
4.     Dibutuhkan penelitian lebih lanjut tentang pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kecenderungan pemilahan sampah yang berhubungan dengan faktor-faktor luar dari sikap masyarakat itu sendiri untuk mengubah perilaku masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Azwar, Suharsimin. 2001. Sikap Manusia Teori dan Pengukuran. Bina Cipta. Yogyakarta.
E. Coling. 1986. Istilah Lingkungan Untuk Manajemen.
Hadiwiyono. 1983. Penerangan dan Pemanfaatan Sampah. Idayu. Jakarta.
Notoatmodjo, S. 1983. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Rineka Cipta. Jakarta.
Slamet, J.S. 1994. Kesehatan Lingkungan. Gadjah Mada University Press. Jogjakarta.
Subiyanto. 1988. Evaluasi Pendidikan dan Pengetahuan Alam. DEKDIKBUD
Wibowo Ananta dan Djajawinata. T.D. Penanganan Sampah Perkotaan Terpadu. www.google.co







1. Judul Program
“Sukosari Calistung Center”, Pusat Pengentasan Buta Aksara di Pedesaan Kabupaten Malang
B. Latar Belakang Masalah
Menurut Biro Pusat Statistik (BPS), buta aksara di Idonesia tahun 2005 usia 15 tahun ke atas terdapat 14.595.088 orang. Jumlah buta huruf di Jawa Timur masih tergolong besar yaitu 833.005 orang (Data Base Line Survey, 2005). Pada tahun 2006 angka tersebut tidak mengalami perubahan berarti buta aksara masih sebesar 8,07 persen dari sekitar dua ratus juta penduduk (Antara, 24/07/2007). Provinsi Jawa Timur merupakan provinsi tertinggi angka buta aksara yaitu 30 persen dari total penduduknya (Antara, 02/03/2007).
Angka tersebut menunjukkan masih tingginya buta aksara di Indonesia terutama di Jawa Timur. Dari jumlah tersebut, sebagian besar tinggal di pedesaan. Umumnya mereka adalah petani kecil, buruh, nelayan, penduduk miskin yang tingkat pendapatan atau penghasilan rendah. Mereka tertinggal di bidang pengetahuan, teknologi, keterampilan, serta sikap mental pembaharuan dan pembangunan. Dikarenakan rendahnya pengetahuan, akhirnya mereka tertinggal dalam memperoleh akses informasi dan komunikasi yang penting untuk membuka cakrawala kehidupan dunia (Budiyanto, 2007). Hal ini menyebabkan posisi tawar mereka pada pergaulan ekonomi dan sosial menjadi sangat rendah. Dengan kata lain penduduk buta aksara belum dapat memberikan kontribusinya secara optimal terhadap berbagai proses pembangunan sosial dan ekonomi (Depdiknas, 2007).
Berdasarkan Rencana Aksi Pendidikan Untuk Semua (PUS) Propinsi Jawa Timur 2004-2008, daerah dengan Prioritas Tertinggi adalah daerah yang tingkat buta aksaranya di atas 10.000. Salah satu dari daerah Prioritas Tertinggi adalah Kabupaten Malang (Data Base Line Survey, 2005; Budiyanto, 2007).
Permasalahan di atas perlu segera dipecahkan guna mendukung kemajuan bangsa. Instruksi Presiden Nomor 5 tahun 2006 tentang Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara (GNP-PWB/PBA) diantaranya berisi pernyataan bahwa pemberantasan buta aksara dilakukan dengan mengerahkan seluruh kekuatan, mulai dari presiden, menteri terkait, gubernur, wali kota/bupati, camat, sampai kepala desa. Sedangkan pendekatan horizontal dilakukan dengan melibatkan berbagai komponen atau ormas (Su, 2007; Edrie, 2007). Oleh karena itu, sudah saatnya semua stakeholders seperti perguruan tinggi (dosen dan mahasiswa), PKK, Kowani, Muslimat NU, Fatayat NU, Aisyiah, organisasi kepemudaan dan swasta (Kurniawan, 2005; Ali, 2007).
Untuk mengatasi permasalahan buta huruf ini, Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah Departemen Pendidikan Nasional telah mengeluarkan program Calistung (kependekan dari membaca, menulis dan menghitung). Program tersebut perlu segera diterapkan oleh semua stakeholder seperti yang telah diuraikan di atas. Mahasiswa dengan ilmu dan pengalaman yang ada memiliki peran strategis terkait dengan pengentasan buta aksara ini. Menurut Budiyanto (2007) mahasiswa merupakan Agent of Community Enpowerment, harus terlibat dalam pemecahan masalah pembangunan daerah dan nasional untuk kesejahteraan masyarakat dan harus mendapatkan pengalaman empirik untuk mengelola pemecahan masalah pembangunan daerah dan nasional untuk kesejahteraan masyarakat. Mahasiswa juga merupakan aset bangsa sehingga dituntut untuk aspiratif, akomodatif, responsif, dan reaktif menjadi problem solver terhadap permasalahan pembangunan.
Berangkat dari data, fakta, wacana serta amanat di atas maka disusunlah proposal PKMM ini. Pemilihan Dusun (dukuh) Sukosari dengan alasan bahwa dusun ini merupakan dusun paling tertinggal di Desa Pandansari Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang. Sesuai dengan laporan KKN-T 28 Universitas Muhammadiyah Malang tahun 2007 dan data arsip desa tahun 2007, penduduk usia 15 tahun ke atas yang buta huruf mencapai 975 orang dari jumlah total penduduk 6327 orang atau 2.017 KK.
Program dinamakan Sukosari Calistung Center dengan asumsi agar pengentasan buta huruf ini terpusat dan terstruktur. Hal ini dimungkinkan karena nantinya banyak pihak yang terlibat. Selain dari tim PKMM diharapkan pula peran serta masyarakat setempat, guru-guru sekolah dan tenaga terdidik setempat, aparat desa, organisasi masyarakat, dan tokoh masyarakat.
C. Perumusan masalah
Dari latar belakang di atas dapat dikemukakan permasalahan yaitu:
1. Apakah program calistung mampu mengatasi problematika buta aksara di Dusun Sukosari Desa Pandansari Kecamatan Poncokusomo Kabupaten Malang?
2. Seberapa besar pengaruh atau sumbangan program calistung terhadap permasalahan buta aksara?
D. Tujuan Program
Tujuan program ini adalah:
1. Mengetahui apakah calistung mampu mengatasi problematika buta aksara di Dusun Sukosari Desa Pandansari Kecamatan Poncokusomo Kabupaten Malang.
2. Mengetahui besarnya pengaruh atau sumbangan program calistung terhadap permasalahan buta aksara.
E. Luaran Yang Diharapkan
Luaran yang diharapkan dengan adanya program ini adalah kemampuan membaca, menulis dan menghitung masyarakat sasaran. Kemampuan tersebut berupa:
1. Warga belajar (100%) mampu membaca kalimat yang disusun minimal tujuh kata dengan lancar
2. Warga belajar (100%) mampu menulis kalimat yang disusun minimal tujuh kata dengan lancar
3. Warga belajar (100%) mampu menggunakan operasi matematika (+, -, x, dan 
:) dengan hasil akhir 100 atau lebih dengan lancar
Setiap warga belajar yang memenuhi kriteria tersebut akan mendapatkan SUKMA-1 (Surat Keterangan Melek Aksara) Tingkat Dasar. Luaran lain yang diharapkan berupa adanya sarana membaca desa atau perpustakaan desa untuk mencegah warga belajar mengalami buta huruf kembali.
F. Kegunaan Program
Program ini memiliki berbagai kegunaan diantaranya:
1. Bagi Warga Belajar
- Kemampuan membaca, menulis, dan menghitung warga belajar akan meningkatkan mutu sumber daya manusia, mengurangi kebodohan yang merupakan pintu gerbang kemiskinan.
- Kemampuan membaca akan meningkatkan taraf hidup, sosial, budaya dan ekonomi.
- Kemampuan membaca akan mempermudah akses dan pemahaman bidang pengetahuan, teknologi, informasi, keterampilan, serta sikap mental pembaharuan dan pembangunan.
2. Bagi Pemerintah (Desa sampai pusat)
- Titik tolak minimalisasi angka kebodohan dan kemiskinan yang mendorong kemajuan daerah dan bangsa
- Meningkatkan harkat dan nilai hidup masyarakat
- Memberi daya tambah positif terhadap Human Development Index (HDI).
- Mendorong dan mendukung terwujudnya rencana pengurangan angka buta huruf sampai 5% pada tahun 2009.
3. Bagi Tim PKMM
- Merupakan manisfestasi tanggung jawab sebagai Agent of Community Enpowerment dan aset bangsa.
- Menjadi pengalaman nyata dan literatur hidup yang akan memberi nilai tambah setelah tamat kuliah.
- Menumbuhkan jiwa kreatif dan membangun kepekaan sosial terhadap realitas dan kompleksitas permasalahan bangsa.
- Membangun kekompakan dan sekaligus relasi baik sesama tim ataupun dengan warga sasaran (warga belajar).
G. Gambaran Umum Masyarakat Sasaran
G.1 Gambaran Umum Desa Pandansari
1. Keadaan Geografis Desa Pandansari
Desa Pandansari adalah salah satu desa di Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang. Jarak dari desa ke Kecamatan Poncokusumo adalah 7 km dan 28 km dari dari ibukota Kabupaten Malang. Desa Pandansari terletak pada ketinggian 850 mdpl. Luas desa mencapai 935.214 Ha, peruntukan ladang dan kebun (kebun apel) 794.430 Ha, sawah irigasi 4 Ha, pemukiman/perumahan 360.800 Ha, hutan lindung 19.500 Ha dan perbukitan/pegunungan 951 Ha.
2. Keadaan Demografis Desa
2.1 Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin
Tabel 1. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin
No Uraian Keterangan
1 Laki-laki 3.421 Orang
2 Perempuan 3.206 Orang
3 Kepala keluarga 2.017 KK
Sumber: Arsip Desa Pandansari2006 dan Laporan KKN-T 28 UMM tahun 2007
2.2 Potensi Desa dan Mata Pencaharian Penduduk
Desa Pandansari merupakan suatu desa yang terletak di kaki pegunungan Bromo dan Semeru sehingga desa ini mempunyai karakteristik pegunungan. Lahan-lahan yang ada cenderung pada pola terasering. Suhu relatif rendah sehingga tanaman yangh cenderung dibudidayakan adalah buah-buahan dan sayur-sayuran.
Mata pencaharian sebagian besar penduduk Desa Pandansari berasal dari sektor Pertanian baik sebagai petani pengarap lahan pertanian (komplangan) maupun buruh tani. Sedangkan mata pencaharian lainnya sebagai peternak, pedagang, dan tukang. Struktur mata pencaharian penduduk Desa Pandansari tahun 2006 secara lengkap dapat dilihat pada tabel di bawah.
Tabel 2. Struktur Mata Pencaharian Penduduk
No Keterangan Jumlah
1. Petani 848 Orang
2. Pekerja disektor jasa/ perdagangan 32 Orang
3. Pekerja disektor industri - Orang
Sumber: Arsip Desa Pandansari2006 dan Laporan KKN-T 28 UMM tahun 2007
2.3 Tingkat Pendidikan Penduduk
Sumber daya manusia pada masyarakat cenderung rendah. Mayoritas masyarakat hanya tamat SD/MI. Penduduk tidak tamat SD/MI dan penduduk usia 10 tahun ke atas yang buta huruf sangat tinggi. Tingkat pendidikan penduduk Desa Pandansari tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 3. Tingkat Pendidikan Penduduk
No Keterangan Jumlah
1. Penduduk Usia 10 th ke atas yang buta huruf 975 Orang
2. Penduduk tidak Tamat SD/MI 1821 Orang
3. Penduduk Tamat SD /MI 3021 Orang
4. Penduduk Tamat SLTP/MTs 662 Orang
5. Penduduk Tamat SLTA/MA 105 Orang
6. Penduduk yang Tamat D-1 - Orang
7. Penduduk yang Tamat D-2 6 Orang
8. Penduduk yang Tamat D-3 - Orang
9. Penduduk yang Tamat S-1 17 Orang
10. Penduduk yang Tamat S-2 - Orang
11. Penduduk yang Tamat S-3 - Orang
Sumber: Arsip Desa Pandansari2006 dan Laporan KKN-T 28 UMM tahun 2007
2.4 Keadaan Budaya Desa
Penduduk Desa Pandansari dalam kehidupan sehari-hari menggunakan bahasa Tengger dan Jawa. Hubungan kemasyarakatan antara warga desa umumnya bercorak masyarakat paguyuban yang saling bergotong royong, ramah tamah dan masih memiliki hubungan kekerabatan erat antara satu dengan yang lain. Keadaan seperti ini dapat terlihat dari hubungan keseharian warga.
2.5 Keadaan Keagamaan
Warga Desa Pandansari semuanya beragama Islam sehingga dikenal sangat religius. Ada dua organisasi keagamaan yang terdapat di Desa Pandansari, yaitu NU dan Muhammadiyah. Kegiatan mengaji dipusatkan di Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA). Keadaan TPA masih sangat sederhana dan fasilitas kurang memadai. Pengajian warga yang termasuk dalam kelompok Fatayat dan IPNU dilakukan satu sampai empat kali dalam satu minggu. Sarana peribadatan yang terdapat di Desa Pandansari yaitu masjid 4 buah dan musholla 18 buah.
G.2 Gambaran Warga Belajar
Warga belajar yang menjadi prioritas adalah usia 15 – 44 tahun yang buta aksara. Namun tidak menutup kemungkinan jika terjadi hal diluar perkiraan maka sasaran yang berusia di atas 45 tahun dapat direkrut menjadi warga belajar. Kriteria lain warga belajar adalah sosial ekonomi rendah dan pendapatan rendah.
H. Metode Pelaksanaan Program
Pelaksanaan program ini terdiri dari beberapa tahap yaitu:
Gambar 1. Tahap Pelaksanaan Program
a. Tahap Persiapan
Tahap persiapan atau pendahuluan ini terdiri dari:
- Persiapan tim pelaksana berupa pemantapan kemampuan Tim PKMM dan terutama tutor desa (Bahan Pelatihan Tutor Terlampir).
- Penggandaan modul pembelajaran, soal evaluasi, borang administrasi pembelajaran buta aksara dan CD bahan pembelajaran buta aksara.
- Persiapan sarana dan prasarana yang akan dijadikan pusat kegiatan atau Sukosari Calistung Center. Dalam hal ini bertempat di Sekolah Dasar Islam Al-Hidayah Sukosari
- Pendataan dan konfirmasi peserta (warga belajar), calon tenaga pelatih di luar Tim PKMM (tenaga yang berasal dari Desa Pandansari yang sebelumnya dikoordinir oleh kepala desa dan perangkatnya serta pihak Sekolah Dasar Islam Al-Hidayah Sukosari.
- Penandatangan surat perjanjian kesediaan mengikuti program sampai tuntas oleh peserta (warga belajar) dan kesediaan menjadi tutor desa oleh tenaga tutor desa. Tutor desa (3-5 orang dengan latar belakang guru SDI Al-Hidayah Sukosari, tokoh masyarakat, atau orang yang telah direkomendasikan oleh SDI Al-Hidayah Sukosari dan Kepala Desa Pandansari)
- Persiapan fasilitas lain berupa kokart/tanda pengenal, alat tulis, sertifikat (yang akan diberikan kepada peserta) serta poster dan spanduk untuk publikasi.
b. Tahap Pelatihan atau Pembelajaran
- Pelatihan akan dilakukan selama dua hari yaitu pada hari Sabtu dan Minggu. Pelatihan atau pembelajaran diberikan kepada warga belajar (jumlah 30 orang) dan dilakukan oleh tutor (tutor Tim PKMM dan tutor desa).
- Peserta (warga belajar) dapat pula mengkonsultasikan segala permasalahan yang dihadapi terkait dengan buta aksara dan program yang dilakukan di luar hari tersebut. Warga belajar akan dilayani oleh panitia desa atau tutor desa yang ada di Sukosari Calistung Center
- Dalam pelatihan ini peserta (warga belajar) akan diberikan berbagai materi yang telah direkomendasikan dalam pemberantasan buta huruf yang tentunya disesuaikan dengan kondisi setempat (Contoh Modul dan Kurikulum terlampir).
c. Tahap Ujian
- Ujian dilakukan setelah semua materi pembelajaran dilakukan atau jika tutor telah menganggap bahwa warga belajar telah siap dan layak mengikuti ujian. Waktu yang ditargetkan atau direncanakan yaitu minggu ke-7 dan ke-8 pertemuan pembelajaran (Contoh Soal Ujian Terlampir).
- Ujian dilakukan sebagai syarat mendapatkan SUKMA-1 (Surat Keterangan Melek Aksara) Tingkat Dasar.
- Untuk menjamin mutu dan kualitas, maka pada saat ujian akan dipantau oleh Diknas Kabupaten atau Diknas Cabang Poncokusumo, Aparat Desa, beberapa organisasi mahasiswa, pemantau dari Universitas Muhammadiyah Malang dan pihak lain yang dianggap perlu. Akan dibuat pula berita acara ujian (Lembar Terlampir).
- Setelah ujian dilakukan, sebagai bentuk rangsangan akan dipilih beberapa warga belajar berprestasi.
d. Supervisi (Monitoring dan Evaluasi Pelaksanaan Program)
- Monitoring dilakukan secara terus-menerus oleh Tim Sukosari Calistung Center
- Evaluasi dilakukan setiap kali pertemuan serta setelah ujian dilakukan
- Evaluasi dilakukan untuk mengetahui ketercapaian target yang direncanakan dan untuk pengambilan langkah-langkah selanjutnya. Target yang dimaksudkan adalah antusiasme warga belajar dalam mengikuti pembelajaran, peningkatan kemampuan warga belajar, dukungan dari pihak desa dan masyarakat, keterlibatan tutor desa dan kerjasama tim.
- Untukk menjamin mutu dan profesionalitas maka akan dilakukan evaluasi dan monitoring oleh supervisor. Komponen monitoring dan evalusi terlampir.
e. Tahap Pengembangan
- Pengembangan dimaksudkan agar terjadi kesinambungan program meskipun PKMM telah selesai
- Pada tahapan ini akan dirintis berdirinya pusat membaca desa atau perpustakaan desa yang bertempat di SD Islam Al-Hidayah. Sarana dan prasarana yang ada adalah ruangan, buku bacaan, majalah, koran, bahan bacaan lain dan sumber informasi lainnya, poster-poster/tempelan dinding, buku administrasi peminjaman, data jenis dan jumlah bahan bacaan, meja dan kursi untuk membaca, rak/lemari buku, tenaga pelaksana/pengelola perpustakaan. Sarana dan prasarana lain yang dianggap perlu akan dilengkapi dan disesuikan pada saat pelaksaan program.
- Dengan adanya perpustakaan ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan warga belajar, mencegah warga belajar agar tidak buta aksara kembali, sekaligus dapat digunakan sebagai sumber bacaan oleh siswa SD setempat.
- Akan dijajaki pula kerjasama pengembangan dengan berbagai donatur dan sponsor, penerbit buku, toko buku, instansi dan perseoranga.
- Tim PKMM juga akan memberikan rekomendasi kepada beberapa universitas penyelenggara KKN termasuk Universitas Muhammadiyah Malang. Ini dimaksudkan agar mahasiswa KKN dapat mengembangkan atau melaanjutkan program tersebut.
- Khusus untuk tutor desa akan dilakukan refresh (penyegaran) guna meningkatkan mutu dan kualitas mereka. Hal ini sangat penting karena merekalah yang nantinya akan bersentuhan langsung setelah program berakhir.
I. Jadwal Kegiatan Program
No Nama Kegiatan Bulan ke-1 Bulan ke-2 Bulan ke-3
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1 Persiapan
- Persiapan Tim
- Pelatihan Tutor Desa
X
X
X
2 Pelatihan atau proses pembelajaran X X X X X X X X
3 Ujian X X
4 Pendampingan X X X X X X X X X X
5 Supervisi X X X X X X X X X X
6 Pengembangan X X X X X
7 Laporan Akhir X X
J. Nama dan Biodata Ketua Serta Anggota
a. Biodata Ketua Pelaksana
Nama Lengkap : Husamah
NIM : 04330058
Alamat : Jl. Notojoyo No. 53 Malang
Fakultas / Program Studi : KIP / Pendidikan Biologi
Perguruan Tinggi : Universitas Muhammadiyah Malang
Waktu untuk Kegiatan PKM : 12 minggu
b. Anggota Kelompok
1. Nama Lengkap : Yanur Setyaningrum
NIM : 04330037
Alamat : Jl. Notojoyo No. 189A Malang
Fakultas / Program Studi : KIP / Pendidikan Biologi
Perguruan Tinggi : Universitas Muhammadiyah Malang
Waktu untuk Kegiatan PKM : 12 minggu
2. Nama Lengkap : Andik Nurdianto
NIM : 05330060
Alamat : Jl. Notojoyo No. 227 Malang
Fakultas / Program Studi : KIP / Pendidikan Biologi
Perguruan Tinggi : Universitas Muhammadiyah Malang
Waktu untuk Kegiatan PKM : 12 minggu
3. Nama Lengkap : Herwan Jaya
NIM : 07330046
Alamat : Jl. Notojoyo No. 53 Malang
Fakultas / Program Studi : KIP / Pendidikan Biologi
Perguruan Tinggi : Universitas Muhammadiyah Malang
Waktu untuk Kegiatan PKM : 12 minggu
4 Nama Lengkap : Sukma Maholla Yunitasari Putri
NIM : 04330045
Alamat : Jl. Telaga Al-Kautsar Malang
Fakultas / Program Studi : KIP / Pendidikan Biologi
Perguruan Tinggi : Universitas Muhammadiyah Malang
Waktu untuk Kegiatan PKM : 12 minggu
K. Biodata Dosen Pembimbing
Nama Lengkap dan gelar : Dra. Iin Hindun, M.Kes
Golongan Pangkat dan NIP : Penata Tk I/III.d/131.930.145
Jabatan Fungsional : Lektor Kepala
Jabatan Struktural : Dosen
Fakultas / Program Studi : KIP / Pendidikan Biologi
Perguruan Tinggi : Universitas Muhammadiyah Malang
Bidang Keahlian : Pendidikan Biologi
Waktu untuk Kegiatan PKM : 12 minggu
L. Biaya
No Jenis Banyaknya Jumlah
1. Bahan Habis Pakai
a. Kertas
b. Tinta
c. CD blank
@Rp.30.000×2
@Rp.30000×2
@Rp.2500×5
Rp. 60.000
Rp. 60.000
Rp. 10.000
2 Peralatan penunjang
a. Alat Tulis
– Kapur Tulis
– Ballpoin/pulpen
– Pensil
– Penghapus
– Buku Tulis
– Penggaris Kayu
– Penggaris plastik
– Penghapus papan tulis
– Boardmarker
b. Penggandaan Modul dan borang administrasi
c. Penggandaan soal ujian
d. White board
e. Tanda pengenal
f.Pembuatan stempel dan bantalannya
g. Map arsip
h.Stapless dan isinya
i. Kaos ”Berantas Buta aksara”
j. Sertifikat
k.Peralatan unjuk kerja
@Rp.5000×4
@Rp.1500×50
@Rp.1000×50
@Rp. 500×50
@Rp.1500×50
@Rp. 5000×2
@Rp. 1500×50
@Rp. 10.000×2
@Rp. 5.000x 10
@10.000×50
@2000×40
@Rp.100.000×1
@Rp. 1500×50
@Rp.1000×10
@Rp.10.000×2
@Rp. 15.000×30
@Rp. 1500×50
Rp. 20.000 Rp. 75.000
Rp. 50.000 Rp. 25.000
Rp. 75.000 Rp. 10.000
Rp. 75.000
Rp. 20.000
Rp. 50.000
Rp.500.000
Rp. 40.000
Rp.100.000
Rp. 75.000
Rp. 60.000
Rp. 10.000
Rp. 20.000
Rp.450.000
Rp. 75.000
Rp. 70.000
3. Perjalanan
a. Tim PKMM
b. Dosen Pembimbing
c. Tutor Desa dan Pemantau
@Rp. 60.000X5
@ Rp.100.000×1
@Rp. 30.000×10
Rp.300.000
Rp.200.000
Rp.300.000
4. Lain-lain
a. Konsumsi
– Tim PKMM
– Tutor Desa dan Pemantau
– Dosen Pembimbing
– Peserta Pelatihan
b. Dokumentasi
– Cetak foto Digital
– Video Kegiatan
c. Spanduk dan publikasi Rp. 200.000
d. Supervisi Rp. 200.000;
e. Pendampingan
f. Pengembangan
– Perintisan Perpustakaan Desa
1. Buku Baru
2. Buku Bekas
3. Majalah Baru
4. Majalah bekas
5. Koran
6. Bahan Bacaan lain
g. Laporan akhir
@Rp.100.000×5
@Rp. 20.000×10
@Rp. 100.000×1
@Rp. 10.000×30
@Rp.1000×100
@Rp.200.000×1
@Rp. 70.000×3
@Rp.25.000×20
@Rp.10.000×40
@Rp. 6.000×10
@Rp.1000×100
Rp.500.000
Rp.200.000
Rp.100.000
Rp.300.000
Rp.100.000
Rp.200.000
Rp.210.000
Rp.150.000
Rp.150.000
Rp.500.000
Rp.400.000
Rp. 60.000
Rp.100.000
Rp. 50.000
Rp. 50.000
Rp.200.000
Total Biaya Rp. 6.000.000

2 komentar:

  1. Merkur 34C Safety Razor - Merkur - Cascadino
    Merkur 34C Safety Razor, also クイーンカジノ known as the Merkur 34C, is a chrome finished double edge safety razor, designed to rb88 be handled 메리트카지노 in a very close and efficient manner

    BalasHapus
  2. What are the differences between virtual reality (VR) and
    Virtual reality (VR) (SEO) is a term which describes how the world of 우리카지노 the game is portrayed and expressed in a way similar to the ordinary. You do not need kirill-kondrashin to 1 answer  ·  Top answer: You should be able to play on a computer in virtual reality.

    BalasHapus